Jumat, 13 Oktober 2017

Refleksi Menulis Ku

#Refleksi caraku menulis

Hari ini tepat 21 hari tantangan menulis yang saya buat pribadi. Menulis memang sudah saya sukai sejak SMP. Saya rutin menulis diary sejak SMP tepatnya tanggal 17 Februari 1994 menurut catatan buku diary saya yang masih rapi tersimpan. Saya juga suka bikin puisi sampai saya bekerja.

Dulu, Saya juga sempat bikin sebuah draf cerpen namun tak pernah selesai karena mungkin saat itu menulis bukanlah prioritas buat saya (drafnya masih saya simpan).

Saat itu memang belum ada komputer seperti sekarang. Semua ditulis tangan. Kadang saya menulis di belakang buku sampai saya pernah juga menulis dikertas daur ulang untuk bungkus baju pelanggan di toko tempat saya bekerja. Pokoknya nga bisa liat kertas nganggur deh…pengen corat-coret aja bawaannya..hehe..he

Saya ingat betul. Sewaktu SMP kelas 2 saya belajar mengetik menggunakan mesin tik konvensional. Kebayang nga mengetik dengan keberisikan dari alat tersebut. Belum lagi ke-riweh-an penggantian tinta yang sering bikin belepotan tangan dan jadi ilfil untuk megang mesin ketik lagi.
Tapi sejauh itu, saya termasuk yang jatuh cinta dengan teknik mengetiknya. Saat itu guru pengajar pelajaran mengetik sangat disiplin dengan praktek 10 jari. Kebayang nga, mengetik dengan tuts nya blank alias nga ada hurufnya hanya warna saja sebagai penanda. Terus ujian ngetiknya dengan tutup mata pula. Bikin dag dik dug serrr…... deh

Ditambah lagi begitu susahnya kalo mau latihan ngetik saat itu karena jaman itu mesin ketik cuman ada dikantor-kantor doang dan termasuk benda eksklusif. Jadinya nga semua orang punya sehingga untuk bisa mempraktekkan teknik mengetik lancar 10 jari tanpa melihat apalagi tanpa salah ketik itu terasa mustahil.

Ada lagi yang menjengkelkan saat mengetik pakai mesin tik waktu itu. Kalo nga kuat jarinya maka hasil ketikan nga jelas, terlalu kenceng menekan tuts bisa tembus tuh kertas jelas harus ngulang lagi. Dan kertasnya nga kayak sekarang berwarna putih bok…. Burem gitu itupun harus hemat nga boleh sering salah.
Terus  kalo nga stabil ngetiknya bisa loncat-loncat hurufnya, belum lagi kalo nga pas naroh jari di tuts.. bisa ‘terpelosok’ jari ke dalam mesin…atit tau….

Dan karena semua hal tersebut saya akhirnya menikmati semua prosesnya sebagai bagian dari pengalaman dari perjalanan belajar mengetik saya.

Kembali ke menulis. Selama 21 hari ini, Saya mulai terbiasa untuk belajar peka terhadap sekitar dan menuangkannya ke dalam tulisan. Mungkin belum sampai berlembar-lembar namun ini adalah awal yang baik buat saya.

Konsisten yang terpenting itu kata pakar menulis. Menulislah yang banyak jadikan menulis itu habit maka dengan berjalannya waktu akan menjadi kebiasaan yang akan mengasah keterampilan kita dalam menulis.

Dan buat tujuan sehingga menguatkan kita saat kondisi kita sedang enggan menulis.

Buat saya pribadi, menulis adalah cara saya berkomunikasi dengan anak-anak tentang apa yang terjadi sejak mereka sebelum lahir sampai mereka dewasa nanti.

Apa yang saya tulis bisa bermanfaat terutama buat mereka. Bisa merangkai kepingan memori masa kecil mereka bersama saya. Agar histori kami tidak berlalu begitu saja tanpa makna.

Menuliskan apa saja yang kami lewati sebagai portofolio pribadi kami, menulis apa yang saya rasakan, pikirkan dan lewati adalah cara saya menyampaikan runutan peristiwa yang memang harus kami kenang suatu hari nanti sebagai pembelajaran, sebagai referensi dan sebagai guru yang berharga.

Sedangkan yang saya pelajari dari artikel-artikel penulisan. Saya tipikal suka menulis deskripsi dan narasi. Saya begitu mengalir jika menuliskan dengan cara penulisan kedua jenis menulis tersebut. terutama jika berhubungan dengan anak dan pembelajaran mereka.

Namun jika menuliskan seperti isi pikiran, pendapat pribadi atau global seperti argumentasi, persuasi masih perlu pengasahan dan jam terbang lebih lagi.

Kadang setiap saya menulis, saya coba bacakan hasil tulisan saya ke anak dan suami. Sehingga mereka bisa mengoreksi akuransi cerita yang saya tulis. Dan feedback dari tulisan tersebut versi mereka.

Setelah 21 hari menulis ini. Ada bagian dari otak saya yang merasa haus akan bahan bacaan. Memang bahan bacaan alias buku sangat jarang ada dirumah. Semua buku-buku saya yang belum sempat dibaca masih banyak  tertinggal di depok. Dan untuk beli lagi. Keuangan kami masih belum bisa mengcover pengeluaran ini.

Saya sempat berpikir begini, kok bisa para emak-emak itu bisa sempat menulis. Menurut pengalaman mereka, mereka menulis saat anak-anak tidur. Saya juga mempraktekkannya begitu. Namun kadang ngantuk itu sangat menggoda untuk ikut terlelap bersama anak-anak.
Atau kadang baru satu-dua halaman sudah sepet matanya melihat layar dengan pencahayaan minim.

Sebenarnya saya lebih suka mengetik di siang hari dan seringnya ide-ide menulis itu datangnya siang hari namun aktivitas saya bersama ke 3 anak yang semuanya homechooling sangat menyita waktu saya. Apalagi yang kecil yang jarang sekali tidur lama. Kalopun lama harus selalu standby di depan ayunannya. Kebayang nga tangan satu ngetik, tangan lainnya sedang mengayun.. nga lancar deh runutan kata-katanya keluar, nga selaras kecepatannya dengan ketikan jari.

Tapi ada juga bunda homeschooling yang anak-nya banyak namun tetep sempat menulis. Pengen deh.. tetap bisa konsisten.

Semoga ghirah ini terus ada didalam hati dan pikiran saya. Membiasakan suatu kebiasaan yang saya sukai adalah memantik diri untuk sebuah keberhasilan suatu hari nanti.

Kota seribu sungai, 13 Oktober 2017
yuliana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar