Rabu, 15 November 2017

MENGENANG SANG GURU RENANG

Air empang disamping rumah nenekku mulai meninggi, dan tentu saja aku selalu bersemangat untuk belajar berenang bersama adik-adikku dan teman tetanggaku.
Usiaku belum 9 tahun seingatku, rumah kami disampingnya ada empang yang cukup panjang , yang airnya masih mengalir kala itu. Jadi jika musim hujan tiba, empang itu akan pasang airnya. Karena masih bisa dialiri oleh sungai besar di belakang komplek rumah kami.

Aku yang sudah tak sabar menjeburkan kakiku di empang sambil sesekali mencoba menjatuhkan badanku ke dalam air, berpegangan ditepian kayu tempat kami biasa mencuci pakaian.

Aku dan adikku biasanya akan memanggil dua orang kaka yang juga tetangga kami,   usia mereka tak  jauh diatas kami. Dan mereka atau salah satu dari mereka akan selalu mau mengajari kami berenang. Kami selalu merasa nyaman berlama-lama dirumah mereka. Mereka sepasang kaka beradik.
Setiap pagi atau sore aku selalu meminta dikepang rambutku. Entah sebelum sekolah atau setelah aku mandi sore. Mereka berdua sangat ramah dan tentu saja kami selalu senang ngobrol dengan mereka berdua.

Sang kaka bernama ka ijum, dan adiknya ka ati. Merekalah guru kami dan sahabat kami semasa kecil. Banyak pengalaman yang kami dapatkan selama kami mengenal mereka.

Terutama pengalaman belajar berenang. Ka ijum dengan sabar dan goyunnya mau mengajari ku dan adikku berenang. Dari mulai memegangi dan membuat kami yakin dan percaya diri bahwa kami sudah siap untuk bereneng ke tengah.

Waktu itu belum ada yang namanya kolam renang. Rasanya kata kolam renang sendiri terlalu mahal di telinga kami. Buat kami empang kecil inilah pelipur lara saat kami ingin berenang dan membasahin tubuh beserta main air lainnya.

Empang ini memang tidak lebar hanya selebar 2-3 meter dengan panjang 100 meter kayaknya. Empang ini memang surut sehingga jika terlalu banyak anak yang mandi berenang maka airnya langsung berubah keruh dengan lumpurnya. Jadilah bukannya mandi bersih malah jadi mandi kotor, tapi kami senang.

Memang ada cerita sedihnya juga. Aku pernah hampir tenggelam oleh ka ijum supaya kami termotivasi untuk cepat bisa berenang. Dan kala itu tak ada yang marah ataupun jadi kapok karenanya.

Cerita sedih lainnya adalah jika kami terlalu lama berenang maka kami akan dipukul pantatnya oleh kakekku atau pamanku. Serta kadang diteriakin oleh kakek tetangga diujung sungai. Karena air menjadi keruh sehingga semua warga sepanjang empang tidak bisa menggunakan airnya lagi untuk keperluan rumah lainnya .

Maklum waktu itu belum ada tuh yang namanya air PAM masuk kampung kami. Jadi air empang inilah satu-satunya untuk air minum (dimasak sih) dan cuci-cuci.
Tapi tenang air ini tidak digunakan utnuk urusan kakus. Hanya mandi, cuci dan minum…. Serem ya kalo ingat itu.
Alhamdulillah sekarang sudah ada air ledeng. Dan alhamdulillah pula tak butuh waktu lama aku dan kedua adikkupun akhirnya mahir berenang. Dan sudah pernah menikmati jernihnya kolam renang .

Dan tentu saja aku bersyukur dan berterimakasih kepada kedua guru renangku tersebut. Semoga amal jariyah mereka dibalas Allah di akhirat kelak.

Selamat jalan guru-guruku
Selamat jalan salah satu guru kehidupanku
Selamat jalan sahabat masa kecilku
Pengalaman bersama kalian akan selalu aku kenang dan kuceritakan pada anak-anakku.

#memoarKaIjumDanKa Ati

16/11/2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar