Minggu, 04 Juni 2017

Day 4

level1
#day4
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

“BUATLAH JADWALMU SENDIRI, NAK”

#Mengatakan apa diinginkan

Memiliki anak usia pre aqil baliq memang tidak gampang. Terutama masalah komunikasi. Memang selama ini sayalah orang yang masih dipercayanya tempat dia curhat atau sekedar ngobrol apa saja dalam kesehariannya.

Sejak dia kecil saya memang mempersiapkan diri untuk masa ini. Pengalaman dikeluarga besar bagaimana membesarkan anak lelaki memang tidak ada. Saya terlahir dikeluarga yang semuanya perempuan sehingga tidak punya pengalaman mengasuh, membesarkan dan mendampingi anak laki-laki. Dan putra sulung saya adalah cucu tertua dipihak orangtua saya.

Mendidik anak Laki-laki memang tidak sama dengan anak perempuan. Dan untuk itu saya banyak mencari referensi bacaan agar saya tidak menjadi orangtua yang malpraktik pada anaknya.

Alhamdulillah sampai saat ini saya masih menjadi teman ngobrolnya. Dia masih suka cerita apa yang dia alami, dia kerjakan, dan bagaimana dengan pertemanannya diluar rumah. Tapi saya masih selalu salah menebak soal apa yang dia rasakan.

Putra sulung saya termasuk tipikal sensitif. Kalo dia lagi marah, kesal atau tidak menyukai apa saja. Maka dia akan mojok, menangis di kamar atau dikamar mandi. Persis kayak saya. Karena saya merasa dia persis kayak saya seringkali saya cepat sekali menyimpulkan apa yang dirasakan atau dipikirkannya.
Langsung menyimpulkan apa yang mau dikatakannya. Dan inilah yang menjadi pangkal miscommunication antar kami.

Setiap saya coba mengajaknya bicara serius mengenai pembelajarannya, apa rencana-rencananya perihal pendidikannya dan apa yang dia mau untuk masa depannya. Dia pasti langsung kesal, pasang muka masam, kening dikerut, mata nga mau menatap saya. Seperti pasang tameng bahwa dia nga suka diajak bicara.

Apalagi kalo waktunya kurang tepat, seperti habis maen, atau ditengah dia lagi maen.

Kalo saat seperti ini pastilah kami sama-sama tidak bisa optimal mencapai kesepakatan.

Seperti siang ini, saya minta dia untuk lebih fokus pada rencana yang sudah dibicarakan kemaren bersama ayahnya.

Saya minta dia untuk buat jadwal sendiri mengenai apa yang ingin dia kerjakan atau pelajari selama 7 bulan ke depan sebelum dia didaftarkan untuk ikut ujian UNPK tahun 2018

Dia kemaren ingin mempelajari design grafis, komputer dan multimedia lebih inten lagi.

Tapi dia tidak mau kalo jadwalnya nanti diawasi atau dinilai oleh saya.

Sedang saya ingin dia segera menuliskannya dan ditempel di dinding agar kami mengetahuinya. Dan karena inilah terjadi beda pendapat.

Memang kami berdua beda gaya belajar, saya yang visual- auditori sedang dia kinestetik-auditori, juga kerap menjadi poin perselisihan.

Sejak saya tau perbedaan gaya belajar kami, saya selalu berusaha untuk menyelaraskan dan lebih memahami putra sulung saya ini.

Namun semarah-marah kami berdua, kami tidak pernah marah lebih dari 30 menit. Setelah berdebat atau saling ngotot kami selalu mengakhiri dengan berpelukan meski kesepakatan atau tujuan kami bicara belum tercapai.

Memang ada timing yang bagus untuk mengajak putra saya ini bicara yaitu mengajaknya ngedate berdua saja atau ngobrol saat dia mau tidur malam.

Kami memang punya kebiasaan sejak dia kecil selalu membacakan cerita, berbagi cerita atau mendengarkan cerita masing-masing dari mereka seharian itu sebelum tidur. Sekarang anak-anak selalu ngumpul saat mau tidur, kadang rebutan cerita dan minta dibacakan buku cerita. Kami juga selalu mengisi saat tersebut dengan ngobrol yang serius dengan lebih santai.

Dan pada malam hari ini pun, saya menghampiri dia di tempat tidurnya, rebahan disampingnya, memeluknya (karena cara inilah yang selalu dia suka). Terus saya mulai membuka topik pembicaraan bahwa saya meminta maaf kalo saya menyakiti perasaannya tadi siang. Bahwa saya juga seorang ibu yang masih terus belajar menjadi ibu buatnya. Bahwa saya juga tak luput dari keliru.

Saya pun mulai bertanya apa yang dia inginkan untuk kedepannya? Apa yang dia sukai? Dan dia ingin saya bagaimana ke dia? ( pada saat seperti ini biasanya dia akan lebih terbuka dengan saya).

Terus saya juga mengatakan apa yang saya inginkan untuknya, saya ingin dia fokus pada cita-cita dan mimpinya dan membuat jadwal belajarnya sendiri secara mandiri karena dengan homeschooling dia lebih bisa fleksibel mengatur jadwal sesuai kebutuhan dia. Bahwa dia harus belajar bertanggungjawab akan belajarnya sendiri.

Memang selama hampir 3 tahun ini, jalur belajar putra sulung saya lebih ke unschooling. Tidak terjadwal, tidak terstruktur dan tidak mempelajari pelajaran seperti di sekolah formal. Saya lebih banyak mengobservasi dan menstimulasi dia dengan berbagai kegiatan untuk menggali fitrah belajarnya. Lebih membebaskan dia untuk mengenali alam sekitarnya. Kami menyebutnya belajar dimana saja, kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja.

Memang saya melihat dia lebih suka apa saja yang berhubungan dengan komputer. Namun kami belum terlalu jauh sampai dia harus kursus diluar rumah untuk belajar yang lebih tinggi lagi.

Tantangan kami didaerah adalah  disini belum ada komunitas homeschooling anak usia sekolah yang bisa berkegiatan bersama sehingga bisa saling mendukung satu sama lainnya.

Saya sadar, putra 12 tahun saya ini  memang mulai butuh privasi, butuh dihargai pendapatnya, butuh diberikan ruang untuk dia mengemukakan idenya sendiri, rencana dan apapun untuk masa depannya kelak.

Sebagai orangtua tugas saya diusianya ini hanya mendampingi, membersamai sembari terus memonitor dan menjaga agar dia masih direl yang benar, masih sesuai adab, syariat agama dan norma yang berlaku dimasyarakat.

4 Juni 2017
Banjarmasin City
Yuliana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar